Laklak: Jajanan Tradisional Bali yang Bertahan di Tengah Modernisasi
Sumber gambar: Laklak, Jajanan Tradisional Bali
Laklak: Jajanan Tradisional Bali yang Bertahan di Tengah Modernisasi
Ada satu momen kecil yang selalu terasa menyenangkan ketika berada di Bali, yaitu menemukan penjual laklak di antara hiruk pikuk pasar tradisional. Di balik asap tipis yang keluar dari cetakan tanah liat, tampak adonan hijau perlahan mengembang. Aroma daun suji yang lembut bercampur wangi santan membuat siapa pun mendekat hanya untuk memastikan apakah kue mungil itu benar-benar sesederhana yang terlihat. Begitu kamu mencicipinya, jawabannya jelas: sederhana, iya, tetapi penuh karakter.
Laklak termasuk jajanan yang tidak pernah tergeser oleh gelombang kuliner modern. Walau kini Bali dikelilingi restoran berkonsep kontemporer, dessert artisanal, dan minuman hits, laklak tetap muncul di waktu-waktu paling wajar: pagi hari di pasar, sore hari di depan rumah warga, atau bahkan sebagai sajian pendamping saat ada kegiatan adat. Keberadaannya seperti mengingatkan bahwa tidak semua hal harus mengikuti mode agar tetap dicintai.
Rahasia laklak ada pada bahan-bahan dasar yang merangkum gaya hidup masyarakat Bali. Tepung beras dari hasil panen lokal, santan dari kelapa segar, dan cairan daun suji yang memberi warna hijau alami. Tidak ada pewarna buatan atau trik dapur berlebihan. Saat dituangkan ke dalam cetakan tanah liat yang panas, adonan itu berubah menjadi kue bertekstur lembut dengan permukaan berpori. Setelah matang, kelapa parut dan gula aren cair menjadi sentuhan terakhir yang membuat rasanya benar-benar khas.
Menariknya, setiap wilayah di Bali punya sedikit perbedaan cara menyajikan laklak. Ada yang lebih suka menyiram gula aren sampai meleleh ke seluruh permukaan. Ada yang lebih suka taburan kelapanya tebal. Ada juga yang membuat ukuran laklak lebih besar atau lebih kecil dari biasanya. Perbedaan kecil ini justru menunjukkan betapa hidupnya tradisi ini. Laklak bukan benda museum; ia berubah pelan mengikuti kebiasaan masyarakat yang membuatnya.
Sementara kuliner modern sibuk menarik perhatian lewat tampilan spektakuler, laklak bertahan dengan pesona yang tidak memaksa. Kue ini lahir dari kebiasaan sehari-hari, lalu tumbuh menjadi bagian identitas kuliner Bali. Bahkan ketika anak muda mulai menambahkan topping baru seperti meses atau keju, dasar rasa laklak tetap tidak berubah. Modernisasi datang, tetapi tidak menghapus akar tradisi yang membuat laklak tetap punya tempat di hati orang Bali.
Mungkin itu alasan mengapa laklak menarik untuk dibahas. Ia bukan hanya soal rasa, tetapi tentang bagaimana budaya kecil dapat bertahan tanpa harus berteriak. Laklak adalah contoh bahwa tradisi bisa terus hidup jika ia dekat dengan keseharian, mudah dibuat, dan punya cerita yang membekas. Satu gigitan laklak bukan hanya membawa manis gula aren, tetapi juga perjalanan panjang kuliner Bali yang terus bergerak seiring waktu tanpa kehilangan jiwanya.

0 $type={blogger}